SEJARAH KETURUNAN TIONGHOA DI ASIA TENGGARA YANG TAK DIKENAL KHALAYAK RAMAI Bagian IV
Thursday, June 20, 2013
Edit
Pada dasarnya Indonesia terdiri dari bagian-bagian yang dahulu mempunyai kedaulatan sendiri-sendiri seperti kerajaan, kesultanan dan sebagainya. Dalam abad ke 18 dan abad ke 19 di Kalimantan-Barat selain kerajaan atau kesultanan terdapat juga sejumlah negara republik. Berapa jumlah semuanya tidak jelas. Saya sebut tiga yang paling besar. Republik Thai Kong dengan tentara 10.000 orang, Republik Lan Fong 6.000 orang dan Lara Sin-Ta-Kiou 5.000 orang. Masing-masing negara republik tersebut terdiri dari suku-suku tertentu. Hubungannya satu sama lain sedemikian rupa hingga mudah diadu-domba oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah perang melawan Belanda dengan pertumpahan darah yang besar pada tahun 1854 hanya tinggal satu Republik Lan Fong yang akhirnya berdiri 107 tahun. Meskipun tahun 1884 Belanda berhasil menghancurkannya, daerah tersebut baru tahun 1912 berhasil diamankan. Sisa pusat perlawanan Lan Fong pertama-tama menyingkir ke Sarawak. Disana mereka terkenal dibawah bendera Sam Tiam Hui.
107 Tahun Republik Lan Fong lebih lama daripada negara persatuan Jerman bentukan Bismarck, yang setelah kira-kira 75 tahun pecah menjadi Jerman Timur dan Barat. Ditambah 12-13 tahun setelah dipersatukan lagi juga belum 100 tahun. Belgia terbentuk tahun 1830 hingga kini 173 tahun dan dengan demikian berumur kurang daripada self-government orang-orang Tionghoa di Palembang yang menurut Victor Purcell berlangsung selama 200 tahun.
Pejabat pemerintah Belanda Dr. J.J.M. de Groot yang fasih bahasa Tionghoa adalah saksi-mata Republik Lan Fong. Buku de Groot "Het Kongsiwezen van Borneo" terbit tahun 1885 mengandung keterangan yang berharga. Beliau berkesempatan meninjau keadaan dari kedua belah pihak. Kami kutib tentang "... (sebutan de Groot) kongsi-kongsi atau republik-republik Tionghoa yang dahulunya ada di Kalimantan Barat..." sbb.:
Tahun 1885 ini pun (setahun setelah Lanfong hancur) tentara Belanda masih menghadapi perlawanan. Orang-orang Lan Fong inilah yang tadinya mengolah pertambangan emas di Kalimantan hingga daerah ini menjadi makmur seperti belum pernah terjadi disini. Ketika thaiko Lo Fong-phak mendirikan Kongsi Lan Fong di Mandor pada tahun 1777, belum ada pemerintahan yang menguasai daerah tersebut. Maka semua hukum dan undang-undang yang berlaku disitu beliau yang menyusunnya. De Groot sangat kagum sejumlah pendatang campur-aduk yang berasal dari kaum petani biasa di Tiongkok mampu mendirikan negara dengan organisasi yang rapih dan terpimpin dimana berlaku hukum, ketertipan dan disiplin. Mereka memiliki perundang-undangan serta sistem keuangan sendiri. Negara-negara republik tersebut perang satu sama lain dan perang dengan raja-raja Melayu. Perundingan-perundingan dengan pemerintah Belanda yang jauh lebih kuat, telah mereka lakukan dalam tingkat sederajat. Dari manakah semangat republik dan demokratis yang besar itu, sedangkan orang-orang Barat selalu mengira kekuasaan di Tiongkok bersifat absolutis? De Groot telah mempelajari keadaan di Tiongkok dan berkesimpulan semua ini adalah warisan adat-istiadat dan sistem kebijaksanaan dari negara leluhur. De Groot menamakan mereka "... a free people, keen on its self established republican independency...". Komisaris pemerintah kolonial Willer dalam tulisannya yang berjudul "Kronijk (chronicle) Van Mampawa En Pontianak" menyebut Lanfong sebagai "republik konstitusional dibawah kekuasaan tritunggal (triumvirate)".
Kehancurannya negara-negara republik di Kalimantan Barat telah mendatangkan kemiskinan di daerah ini yang luasnya lebih dari empat kali negeri Belanda... De Groot mengecam pemerintah Belanda karena tidak pernah berusaha untuk betul-betul mengenal orang Tionghoa. Beliau berpendapat tidak ada golongan lain yang lebih banyak mengalami fitnahan di daerah penjajahan Belanda daripada golongan Tionghoa. De Groot bertindak sebagai juru bahasa. Semua hal antara pihak Belanda dan pihak pimpinan Tionghoa melalui tangannya dan beliau mengenal pemimpin-pemimpin kongsi dengan baik. De Groot telah mengumpulkan sebanyak mungkin dokumentasi karena mengetahui Belanda akan menyerang dan orang-orang Tionghoa tidak akan menyerah tanpa perlawanan. Dokumen-dokumen negara-negara republik yang lain musnah dalam peperangan yang sudah-sudah.
SAMA RATA
Van Rees seorang Belanda lain yang banyak mengetahui tentang negara-negara republik suku Tionghoa tersebut., telah memberi kesaksian tentang pergaulan sama rata di republik-republik itu. Orang yang berpangkat paling tinggi duduk berdampingan dengan kuli yang paling miskin. Menurut van Rees didalam penghidupan sehari-hari orang Tionghoa tidak mempersoalkan tingkat dan pangkat. Penguasa sipil Sambas bernama Muller dan seorang pejabat Belanda bernama Veth juga menyaksikan hubungan sama-rata. De Groot selanjutnya: "orang yang terendah pun setiap waktu dapat menghubungi pimpinan termasuk kapthai sendiri. Tiada pemimpin yang merasa tersinggung bila seorang dari rakyat-biasa memasuki ruang kerjanya untuk membicarakan urusan-urusan kecil. Bila bertemu dipersimpangan jalan, pemimpin dan rakyat-biasa saling menyambut dengan ramah.... Pada umumnya sama dengan sifat orang-orang Tionghoa yang datang ke jajahan Belanda.... Di Jawa disatu pihak pendatang baru dari Fukien dengan mudah dikuasai oleh pemuka2nya, tetapi dilain pihak menunjukkan kemerdekaan yang bertaraf tinggi tanpa sikap resmi dan hormat yang berlebihan. Pihak pemimpin cukup bijaksana tidak menuntut kehormatan yang lebih besar. Mereka mengetahui para bawahannya itu orang2 yang teresap dengan ajaran "hao" dan akan cukup mengindahkan pemimpinnya."
Para saksi mata juga kagum tenaga kerja orang-orang Tionghoa. Hutan ditebang dan tanah yang tidak begitu subur dijadikan sawah, kebun gula dan kebun buah-buahan. Dikatakan tiada suku lain di dunia dalam keadaan yang sama dapat mewujudkannya. Bekerja dibawah terik panas matahari daerah khatulistiwa dari subuh hingga matahari terbenam, dipersukar oleh kekuasaan Belanda, tanpa perlindungan dari pemerintah tanah leluhur, tanpa modal, hanya dengan kecerdikan dan semangat-berusaha (spirit of enterprise). Menjalin hubungan keluarga dengan pihak pribumi melalui pernikahan, secara umum terjadi sedari permulaan. Mendirikan sekolahan-sekolahan merupakan salah satu usaha yang utama, sekalipun didesa-desa yang kecil. Diantara kaum Tionghoa sukar dijumpai orang yang buta-huruf. Mereka disukai penduduk Pribumi sebagai tenaga yang berharga. Tidak seperti pihak Belanda yang dimana-mana datang dengan kapal perang, serdadu dan senapan. Dengan suku Dayak Batang-lupar dan Punan yang ditakuti sebagai pengayau (penggorok kepala) pun orang-orang Tionghoa dapat memelihara hubungan yang baik. Sedangkan tidak ada orang Eropa yang berani berhadapan dengan suku-suku tersebut tanpa pengawal yang kuat. Demikianlah kesaksian pejabat-pejabat Belanda jaman itu.
Permulaan tahun 1960-an operasi khusus (Opsus) tentara telah melancarkan intrik penghasutan orang Dayak di pedalaman Kalimantan-Barat terhadap orang Tionghoa. Puluhan ribu orang Tionghoa dikejar-kejar, menjadi pengungsi di kota-kota pantai dalam keadaan payah. Banyak yang tewas. Dasar pikiran yang menelorkan operasi tersebut menyalahi cita-citanation-building serta merugikan nusa dan bangsa Indonesia. Adanya sejarah negara Thai Kong, Lan Fong etc, pada hakekatnya tidak beda misalnya dengan adanya negara Demak yang didirikan Jin Bun alias Raden Patah. Seperti dijelaskan diatas, negara Indonesia memangnya terdiri dari banyak bagian yang dulunya mempunyai kedaulatan sendiri. Operasi khusus tetap dilancarkan di Kalimantan-Barat karena penduduk didaerah yang bersangkutan keturunan Tionghoa, meskipun mereka warganegara Indonesia. Diskriminasi terhadap keturunan Tionghoa adalah warisan politik adu-domba kolonial Belanda. Thailand yang tidak mengalami penjajahan telah menyerap orang-orang Tionghoa tanpa banyak persoalan. Apalagi bagi orang-orang yang pandai. Bekas Perdana Menteri Chuan Leek Pai dan banyak orang terkemuka lain serta tidak sedikit anggauta keluarga raja adalah keturunan Tionghoa yang sudah 100% menjadi orang Thai. Sebelum jaman kolonial orang-orang Tionghoa di Indonesia juga dengan sendirinya terserap secara wajar. Orang-orang keturunan Tionghoa seperti Raden Patah dan Endroseno hingga Cekong Mas (yang kuburannya suci dan terletak didalam suatu langgar di Prajekan dekat Situbondo Jawa Timur), semuanya telah terserap 100% oleh pihak Bumiputera Indonesia dimasa sebelum penjajahan.
Tambahan: Tokoh-tokoh Tionghoa didalam sejarah mempunyai nama Pribumi dan mereka tidak menonjolkan diri sebagai orang Tionghoa. Ini mendekatkan mereka dengan pengikutnya serta melancarkan segala sesuatu. Sama dengan anggauta keluarga raja Belanda. Mereka semuanya keturunan Jerman, tetapi mereka juga tidak menonjolkan, bahwa mereka keturunan Jerman.
Oleh : Sie Hok Tjwan
sumber : http://web.budaya-tionghoa.net